Rabu, 01 Februari 2012

Seharusnya Beragama dan Bernegara

By: Ibnu Fuady

Pada tahun 2011 kemarin, sudah lebih dari 30 gereja yang tercatat diganggu dan bahkan dibakar di Indonesia. Dimulai dari Gereja Katolik Petrus dan Paulus di Tamanggung, jawa tengah yang diserang massa pada awal tahun, 8 Februari 2011, gereja baru Dukuh Ubalan malang pada 14 Apri 2011, dan pada penghujung akhir tahun kemarin 6 September 2011, Gereja Pantekosta di Poso, Sulawesi Tengah kembali menjadi sasaran massa. Selain gereja, sederet berita tentang kekerasan terhadap umat kristiani lainnya telah menghiasi berbagai media masa. Diskriminasi ini setidaknya telah melanggar dua norma; norma berbangsa dan beragama. Secara konstitusional, Negara telah menetapkan jaminan kebebasan bagi seluruh pemeluk agama untuk melaksanakan ajarannya masing-masing, dan ajaran agama manapun tidak ada yang membolehkan umatnya untuk melukai umat agama lainnya.

Secara faktual, Fenomena kekerasan yang dilakukan oleh umat islam Indonesia terhadap kaum kristiani menjadikan wajah buruk atas Keberadaan agama, khususnya agama islam yang disebut dalam al-Quran sebagai agama pembawa rahmat untuk seluruh alam (rahmatan li al-‘alamin). Tudingan semacam ini terbukti banyak diteriakkan dan beredar di media jejaring sosial, terlebih Facebook [lihat. Jasmine selalu happy]. Rahmatan li al-‘alamin yang banyak dielu-elukan oleh beberapa muslim revormis sebagai landasan teoritis dianggap hanya sebagai selogan dan jargon semata.

Sikap saling mencela dan mencederai dalam beragama seharusnya tidak dilakukan oleh pemeluk agama manapun. Sebab, hal itu akan mengakibatkan perlakuan timbal balik dari agama lain. Keberagamaan pada dasarnya didorong oleh rasa keinginan manusia sendiri untuk memberi makna yang lebih baik dalam kehidupannya, tempat mengekspresikan diri untuk menjalani spiritualitas dan berteduh mencari keselamatan [Harold H. Titus:1979]. Bagaimana dengan islam, khususnya di indoneisa, yang selama ini menjadi buah bibir dan dinilai sebagai agama teroris?

***

Agama islam—juga agama-agama pra-islam lainnya—secara substansial memiliki misi untuk membangun peradaban manusia di muka bumi ini menjadi peradaban yang bermartabat. Perjalanan islam pada masa nabi telah membuktikan fakta tersebut melalui perilaku nabi yang toleran, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai etika kemanusiaan. Keberagamaan secara toleran, inklusif, dan humanis lambat laun menjadi dasar atas terbentuknya negara Madinah yang menjamin keamanan dan kebebasan untuk menjalankan keyakinannya bagi pemeluk agama non-islam. Terbentuknya piagam madinah membawa angin segar bagi komunitas non-muslim bahwa mereka hidup dalam Negara yang secara legal telah menjamin segala aktivitas kelompoknya [Piagam Madinah: 16]

Selain sebagai Nabi bagi orang islam, Muhammad menjadi kepada Negara yang—disebut oleh Robert N. Bellah—mampu menciptakan konstitusi termodern di zamannya, bahkan konstitusi pertama di dunia. Piagam madinah dipandang oleh beberapa orang sebagai asas terbentuknya konsep pluralisme pertama. Pluralisme dalam artian sadar akan keberagaman yang terjadi pada masyarakat secara individu atau kelompok, baik dari sisi tradisi, keyakinan, dan keberagamaan. Implikasi dari piagam madinah tersebut, keberagamaan dalam masyarakat madinah tidak menjadi alasan konflik antar pemeluk agama. Kaum Islam, Nasrani dan Yahudi saat itu hidup berdampingan dan berinteraksi romantis.

Keberagamaan pasca nabi, umat islam mengalami problematika dalam memahami teks agama (al-Quran dan Al-Sunnah) sebagai ajaran fundamental islam yang diwarisi oleh nabi. Dari teks ini, menimbulkan beragam penafsiran sebagai landasan dalam beragama. Beberapa golongan islam melakukan interpretasi terhadap teks agama sebagai upaya kontekstualisasi teks yang terbatas kepada realitas yang tidak terbatas (al-Nushus mutanahiyah, wa al-Waqai’ ghair al-Mutanahiyah ). Golongan yang lain menolak pandangan tersebut dengan alasan bahwa teks agama merupakan ajaran agama yang sebenarnya, tanpa mendialogkan akal dengan teks. Melakukan interpretasi terhadap teks agama, dalam pandangan mereka, akan mencampuri ajaran agama dengan keinginan pribadi atau golongan tertentu. Sikap skriptualis yang diyakini mereka sebagai hakikat islam tersebut kemudian berimplikasi kepada pemahaman bahwa memerangi orang non-muslim merupakan bagian dari jihad atas nama agama. Hal ini merisaukan masyarakat non-muslim dan memberi wajah serrem terhadap islam.

Paradigma berpikir seperti ini memandang islam sebagai ajaran hitam putih dalam menentukan halal haram, benar salah tanpa melirik nilai moral atau nilai substansial yang ingin disampaikan oleh agama itu sendiri. Berlangsungnya sistim ijtihad “hitam-putih” tersebut mengundang datangnya sikap klaim kebenaran (truth claim) yang memandang kelompok diluarnya salah. Aksi kekerasan terhadap kelompok lain, khususnya bagi non-islam, semakin marak terjadi di mana-mana. Pengkafiran terhadap kaum muslimpun kerap juga menjadi sasaran.

****

Aksi kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang islam disebabkan oleh pemahaman al-Quran secara tekstualis. Tekstualis dalam artian mereka tidak menggunakan metode tafsir yang komprehensip yang menelusuri mengapa teks al-Quran itu diturunkan (asbab al-nuzul), bagaimana kondisi sosial saat itu (Sya’n al-Nuzul), dan apa substansi yang ingin disampaikan oleh al-Quran (maqasid al-syari’ah). Kasus jihad yang digunakan oleh sebagian besar kaum tekstualis sebagai landasar untuk memerangi orang kafir. Dalam al-Quran, kata qa-ta-la yang berarti membunuh banyak digunakan pada surat-surat makkah. Sedangkan kata ja-ha-da yang berarti bersungguh-sungguh atau jihad lebih banyak digunakan di madinah. Penurunan ayat di dua kota tersebut memiliki peranan penting dalam memberi makna yang komprehensip. Nabi berperang (qa-ta-la) sebab saat itu ada gangguan dan ancaman dari orang kafir Quraish mekkah. Perlawan nabi terahadap serangan penduduk mekkah dinilai benar dalam agama, sebab membela diri sendiri, keluarga, dan terlebih tanah air merupakan suatu keharusan. Pada periode madinah, setelah tidak ada gangguan dari kafir quraish, nabi secara tegas menulis dalam piagam madinah; orang yahudi yang menjadi pengikut kami (setia berbangsa dan bernegara), ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan; tidak diperbolehkan menganiaya dan melawan mereka. Orang yahudi diperbolehkan menjalankan agamanya, begitu juga dengan islam. Mereka adalah satu umat (ummah wahidah).

Indonesia sebagai Negara yang memiliki pluralitas dalam ras, suku, dan agama sejatinya harus disadari sebagai bentuk fitrah dalam kehidupan sebagaimana pada masa nabi. Tidak ada yang mendasari bolehnya “Jihad” dalam arti berperang dalam agama islam. Semua agama memiliki cita-cita yang luhur, namun tidak semua pemeluknya sejalan dengan cita-cita luhur agama. Pada awal tahun ini, saatnya kita menyadari kebennikaan bangsa Indonesia untuk saling menghormati dan menghargai.