Rabu, 27 Mei 2009

PENGANTAR PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR

Pengantar
Dalam sejarah pemikiran islam, islam dibagi tiga periode. Pertama, periode klasik (650-1250), pada saat ini islam mencapai puncak keemasan dalam segala hal. Periode ini terbagi atas dua fase. Fase pertama (650-1000 M) adalah fase ekspansi islam. Dari barat sampai ke spanyol, dan dari arah timur sampai ke india. Daerah-daerah itu tunduk yang pada mulanya berkembang di Madinah, Damsyik, dan terakhir di Bagdad. Fase kedua (1000-1250 M) pada fase ini politik dan peradaban islam mulai hancur.
Kedua, periode pertengahan (1250-1800). Periode ini di tandai oleh dua hal. Pertama, perpecahan umat islam yang disebabkan sekte-sekte yang berkembang di dalam islam sendiri. Selain hal itu, pada fase ini telah meyebar luas doktrin bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan pengaruh negatif mistisisme yang berkembang terlalu dikultuskan. Kedua, diwarnai oleh tiga kerajaan besar, kerajaan Usmani di turki, kerajaan Syafawi di persia, dan kerajaan Mughol di india. Pada periode ini islam menjadi lemah, kerajaan Usmani dihancurkan oleh eropa, kerajaan Syafawi mulai dilemahkan bangsa Afghan, dan kerajaan Mughol mulai dikerdilkan oleh raja-raja india. Ghiroh terhadap ilmu pengetahuan semakin menipis, pemikiran umat islam semakin jumud, sementara eropa semakin jaya, hingga pada akhirnya Napoleon Bonaparte dengan mudah melakukan ekspedisinya ke mesir pada tahun 1798 M.
Ketiga, periode modern (1800 M-Sekarang) merupakan periode dimana islam mulai bangun dari tidur panjangnya. Jatuhnya mesir ke tangan barat menginsafkan dunia islam akan kelemahan islam, dan menyadarkan umat islam bahwa di dunia barat ada peradaban baru dan akan menjadi ancaman bagi umat islam. Saat inilah kemudian ada ide pembaharuan pemikiran islam untuk merespon kejayaan barat.
Sebelum pembaharuan muncul, Napoleon memacu pasukannya melakukan ekspedisi besar-besaran di negara seribu menara tersebut. Ia membawa sekitar 1000 rombongan. Dalam rombonga tersebut terdapat beberapa pakar, pakar teknik, pakar ilmu alam, pakar ilmu pasti. Disamping itu, ia membawa alat percetakan, teleskop, mikroskop, dan alat-alat percobaan kimia yang pada saat itu masyarakat mesir buta dalam hal tersebut. Napoleon melakukan penerjemahan-penerjemahan, pada akhirnya ia mendirikan sebuah perpustakaan bernama "Institute D'egypte". Langkah berikutnya ia mengajak ilmuan-ilmuan ternama di mesir untuk berkerja sama dalam tulis menulis dan menerjemahkan beberapa buku ke bahasa arab. Dengan cepat napoleon dan tentaranya menguasai bahasa arab dan budaya mesir. Dari usaha napoleon, mesir semakin takjub kepada kejayaan eropa. Dari sinilah tercipta hubungan harmonis pertama anatara mesir dan eropa. Dari sini juga terlihat langkah asimilasi budaya eropa-mesir begitu mudah.

Tokoh Pembaharuan di Mesir.

1. Muhammad Aly Pasya
Untuk merespon ekspedisi Napoleon ke mesir, pasukan yang disediakan adalah bernama Muhammad Aly Pasya. Ia keturunan darah turki, lahir di yunani pada tahun 1765. Ayahnya penjual rokok, dan sejak kecil aly pasya di didik berkerja, hingga ia tidak sempat duduk di bangku pendidikan. Namun demikian, ia menjadi anak kesayangan gubenur usmani. Hingga ia dinikahkan dengan anak gubenur.
Setelah Aly Pasya menjadi penguasa di mesir, ia beusaha memusnahkan kelompok sparatisme, kelompok yang menentangnya, terutama kaum mamluk. Seluruh kaum mamluk yang ada dimesir dihabisi, sebagian dibunuh dan sebagian yang lain melarikan diri ke sudan.
Setelah Aly Pasya menguasai mesir, untuk memajukan mesir, ia sadar bahwa saat itu masir lemah dalam hal keilmuan, terutama dalam hal militer dan ekonomi. Pada tahun 1815 ia mendirikan sekolah militer, pada tahun 1816 ia mendirikan sekolah teknik, dan pada tahun 1827 ia mendirikan sekolah kedokteran. Ia mendatangkan guru-gurunya dari eropa. Selain membangun sekolah-sekolah, ia mengirim 311 siswa ke negara eropa, diantaranya Italy, Perancis, Inggris, Austria, dan di Perancis. Di Paris, ia membangun sebuah asrama untuk siswa-siswa Mesir yang belajar disana. Disamping belajar militer, ia mementingkan siswa-siswanya untuk belajar kedokteran, administrasi negara, dan arsitek. Tetapi, ia sangat melarang siswanya untuk belajar ilmu politik. Dari sini terlihat bahwa, ia hawatir akan hancurnya kekuasaannya.
Begitu para pelajar datang dari eropa, mereka disuruh menterjemah buku-buku asing ke dalam bahasa arab. Dengan adanya penerjemahan ini, masyarakat mesir mulai mengenal paradigma pemikiran barat, filsafat, dan kebebasan berpikir. Sejak saat itu, islam mulai beradaptasi dengan kemajuan-kemajuan barat.

2. Rifa'ah Badawi Rafi' At-Tahtawi
Selain Muhammad Aly Pasya, At-Tahtawi ikut memerankan pembaharuan dalam islam. Ia lahir pada tahun 1801 di tahta, Mesir. ia merupakan murid dari Syekh Al-Attar yang memiliki hubungan erat dengan ilmuan-ilmuan prancis. Setelah At-Tahtawi menamatkan studinya di Al-Azhar, ia mengajar selama dua tahun. Dua tahun kemudian, ia menjadi ketua rombongan pelajar yang dikirim ke prancis. Selama lima tahun ia tinggal di mesir, ia mendalami bahasa prancis dan banyak menterjemahkan buku-buku prancis ke dalam bahasa arab. Setelah kembali ke mesir, ia mendirikan sekolah bahasa-bahasa asing, Turki, Prancis, Persi, Italy.
Pada pemerintahan Abbas (1848)—cucu Muhammad Aly Pasya, At-Tahtawi di usir dari mesir dengan alasan yang tidak jelas. Setelah Abbas Wafat (1854) ia ditarik kembali ke mesir oleh Said Pasya. Ia diangkat menjadi kepala sekolah militer. Selain aktivitasnya sebagai kepala sekolah, ia juga aktif di tulis menulis. Tahun 1870 ia membuat jurnal bernama "Raudhotul Madaris" yang berorientasi memajukan umat islam di mesir dengan pengetahuan modern. Selain menulis di majalah, ia memiliki beberapa buku. Pertama, Takhlis Al-Ibriz Fi Talkhis Bariz. Buku ini mendeskripsikan kemajuan kota paris. Kedua, Manahij Al-Albab Al-Mishriyah Fii Manahij Al-Adzab Al-Ashryah. Buku ini mejelaskan betapa pentingnnya ekonomi dalam kemajuan suatu negara. Ketiga, Al-Mursyid Al-Amin Lil Banat Wal Banin. Buku ini mejelaskan pendidikan seorang putera. Keempat, Al-Qaulu As-Sadid Fi Al-Ijtihad Wa At-Taqlid. Buku ini menjelaskan secara implisit, pintu ijtihad masih terbuka, dan menolak taklid.
Disamping itu, At-Tahtawi memiliki pandangan bahwa kaum wanita memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki (Emansipasi), ulama' harus bisa beradaptasi dengan pengetahuan modern, tidak ada istilah dikotomi ilmu sekuler dan ilmu agama.
Berkaitan dengan agama, At-Tahtawi sangan menolak faham fatalisme. Sebelum berserah diri, manusia harus berusaha mencapai yang di inginkannya. Dimana ia mencapai keinginannya, maka disanalah takdir dia. Jika tidak tercapai, berarti usaha untuk mencapai yang di inginkan kurang.

3. Jamaluddin Al-Afghani
Tokoh ini lahir di afghanistan pada tahun 1839, ia seorang tokoh yang berpidah-pindah dari negara ke negara yang lain. Namun pemikiran yang ia tinggalkan banyak berpengaruh di mesir.
Karena di india ia merasa tidak bebas, ia pindah ke kota cairo. Disana ia menjauhi dari arus politik, namun pada akhirnya ia juga terbawa arus. Pemikirannya dalam hal politik ia banyak dipengaruhi oleh At-Tahtawi. Dengan gaya politik yang tidak jelas yang berkembang saat itu di mesir, ia mendirikan partai politik bernama"Hizb Al-Wathoni". Dengan partai ini, afghani mengusulkan pergantian jabatan raja Isma'il dengan Taufiq, ia berkeinginan untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan di mesir, namun setelah Taufiq menjadi raja, Afghani diusir oleh Taufiq atas tekanan inggris.
Dari mesir ia pergi ke prancis, dan disana ia membuat organisasi islam yang bernama "Al-Urwah Al-Wutsqo" sekaligus nama majalah yang ia terbitkan. Di organisasi tersebut terdiri orang islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara, dan lain-lain. Dengan Al-Urwah Al-Wutsqonya ia menyalurkan pemikiran-pemiran pembaharuannya. Goldziher menganggap Afghani sebagai pemimpin politik, bukan pemimpin pembaharuan islam. Karena aktifitasnya yang selalu bersentuhan dengan masalah politik. Namun, politik yang dilancarkan oleh afghani sebenarnya berlandasan dengan ide-ide pembaharuan. Menurutnya, islam akan maju dengan (pertama) memiliki kesadaran bahwa islam selalu kompatible diseluruh zaman, oleh karenya diperlukan ijtihad-ijtihad baru. (kedua) islam lemah karena banyak ajaran yang telah terkontaminasi oleh ajaran-ajaran luar islam, seperti faham Qodo' dan Qodar yang kemudian menjadi faham Fatalisme. (ketiga) islam mundur karena salah faham terhadap hadits yang menjelaskan umat islam akan mengalami kemunduran pada akhir zaman, sehingga umat islam tidak melakukan ikhtiar sama sekali. (keempat) lemahnya rasa persaudaraan, saat itu Ulama' Hijaz sudah tidak kenal lagi dengan Ulama' Mesir, dan ulama'-ulama' lainnya. (kelima) kepemimpinan otokrasi harus dirubah dengan sistem demokratis. Pemimpin negara harus mengadakan Syura dengan rakyat. Dari ide-idenya dapat memengaruhi banyak umat islam di mesir, terutma Muhammad Abduh.









By: Ibnu Fuady