Rabu, 11 Februari 2009

FAZLUR RAHMAN;Telaah Konsep Pembaharuan Teologi Neo-Modernisme Menurut



Sekilas Perjalanan Intlektual Fazlur Rahman
Sebuah pemikiran tidak lahir dari ruang kosong. Dan untuk memahami sebuah pemikiran, seseorang tidak bisa mempereteli begitu saja tanpa memahami sosio-historis yang melatarinya. Begitu juga ketika kita berusaha memahami Fazlur Rahman—selanjutnya akan disebut Rahman, pelbagai konteks sosio-historis yang mewadahi aktivitas intlektualnya harus dipertimbangkan.
Fazlur Rahman lahir di distrik Hazarah, Punjab, Barat laut Pakistan pada tanggal 21 september 1919. Ia tumbuh dan berkembang dalam latarbelakang pendidikan tradisional dengan bermadhhab Hanafi, suatu madhhab sunni yang paling rasional dibandingkan dengan tiga madhhab Sunni yang lain (Maliki, Shafi’I dan Hambali). Ia menerima pendidikan tradisional tentang keislaman dari ayahnya, Maulana Sahab al-Din dan dari madrasah Deoban. Pada usia 10 tahun Alquran sudah dihafalkan dan empat tahun kemudian mulai belajar filsafat, Bahasa Arab, teologi, hadith dan tafsir. Intlektualitasnya semakin establish setelah menguasahi beberapa bahasa asing, seperti bahasa Persia, Urdu, Inggris , Prancis, Jerman bahasa-bahasa Eropa Kuno seperti bahasa Latin dan Yunani. Pada tahun 1940, ia menyelesaikan program BA, dan dua tahun kemudian meraih gelar MA dalam bahasa Arab dari Punjab University, Lahore.
Berangkat dari anggapannya bahwa Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual, ia memutuskan melanjutkan studi di Oxford University dan dari sana ia memperoleh gelar Ph. D pada tahun 1949 dengan desertasi tentang Ibn Sina di bawa bimbingan S. Van Den Berg dan Hamilton AR. Gibb. Setelah meraih gelar Ph. D rahman memilih tinggal di Barat untuk sementara waktu sampai akhirnya pada tahun 1966 ia kembali ke Pakistan karena diminta oleh Ayyub Khan, presiden waktu itu, untuk berpartisipasi dalam membangun negaranya.
Sebagai seorang pemikir, Rahman merupakan sosok yang produktif. Ratusan karya yang telah dihasilkannya. Diawali dengan penerbitan desertasinya yang berjudul Avecenna’s Psychologi (London, 1952), Rahman memperoleh popularitas internasional. Dalam buku ini, ia membuktikan adanya pengaruh seorang filosof dan psikolog Islam, Ibn Sina (w. 1037) terhadap seorang teolog Kristen abad tengah , St. Thomas Aguinas (w. 1275). Rahman juga menulis dua buku lain tentang Ibn Sina: Prophecy in Islam Philosophy and Ortodoxy (Chicago, 1958) dan Avicenna’s de Anima (London, 1959), ia juga dikenal dengan karya-karyanya dibidang kajian tafsir tematik Mayor Themes of The Qur’an (Minneapolis, 1979), di bidang metodologi sejarah Islam Islamic Methodology and History (1965), di bidang pendidikan Islam Islam and Modernity: Transformation of Intlectual Tradition (1982), dan karya penting lainnya Islam(1966); The Philoshophy of Mulla Shadra (1975); dan lain-lain.
Setelah memberikan kontribusi cukup besar dalam pembaharuan intelektual Islam, atas ketentuan sang pencipta, Rahman menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 26 Juli 1988 dalam usia 69 tahun di Amerika Serikat setelah beberapa lama sebelumnya ia dirawat di rumah sakit Chicago.

Pembaharuan Teologi Neo-Modernisme Fazlur Rahman
Menarik untuk menyimak “problem tradisi dan modernitas” dari ‘Abid al-Jabiri, yang berangkat dari pertanyaan, apakah kita masih memiliki pilihan terhadap modernitas. Menurutnya, kita tidak memiliki pilihan terhadap modernitas karena ia muncul dipaksakan dari luar sebagaimana kita juga tidak memiliki pilihan atas tradisi. Tradisi adalah bagian masa lalu yang turut terbawa hingga kini sehinnga bercongkol bersama-sama dengan yang modern. Hal ini berakibat pada timbulnya keterbelahan termasuk pada tingkat kesadaran sehingga berpengaruh terhadap wacana kebangkitan. Masih menurutnya, persoalannya bukan memilih tetapi persoalan keterbelahan atau ambivalensi di mana dalam satu waktu timbul rasa senang sekaligus benci terhadap suatu objek tertentu. Di satu sisi Barat modern dipandang sebagai musuh yang harus dilawan karena adanya watak represif dan imperialis terhadap Islam, sementara di sisi lain dipandang sebagai model yang patut dicontoh dengan kemajuan-kemajuan yang dimiliki. Demikian pula pensikapan terhadap tradisi. Tradisi dipandang sebagai tempat bersandar untuk menegaskan identitas serta otentisitasnya dan pada saat yang sama nampak sebagai lorong panjang yang penuh stagnasi dan kemunduran.
Bertolak dari pernyataan al-Jabiri di atas, dengan arah yang berbeda Rahman menangkap tradisi dan modernitas sebagai bagian tak terpisahkan, di mana keduanya mesti dikaji secara kritis dan obyektif dengan memilah-milah mana yang bermanfaat bagi kemajuan Islam. Inilah yang membedakan dengan gerakan-gerakan pembaharuan sebelumnya yang dianggap gagal.
Berawal dari kritisme, Rahman mempertanyakan posisi “Islam sejarah” jika dihadapkan dengan “Islam cita-cita”. Dalam perspektifnya, kelompok tradisionalis konservatif sudah tidak mampu membedakan antara Islam sejarah (legal spesifik) dengan Islam cita-cita (ideal moral),sehingga menjadi sedemikian terikat dengan bibliolatry “mereka menyembah sejarah dan bukan menyembah Allah”.
Dalam pandangan Rahman, abad-abad pertama Islam dinilai sebagai masa keemasan, dengan bukti kesanggupan para pemeluknya untuk memberikan makna signifikan bagi sejarah. Namun sangat disayangkan, perkembangan peradaban Islam menjadi lumpuh ketika penafsiran terhadap Alquran dan Sunnah Nabi terhenti sebagai Sunnah yang hidup –sebagai suatu proses yang terus-menerus berkembang-- dan dipandang sebagai pewujudan kehendak Tuhan. Para salaf al-salih dijadikan sebagai bagian kepercayaan, lebih dari sekedar bagian sejarah. Dalam kondisi demikian, Islam menjadi suatu agama yang beku serta kehilangan dinamika kreatifitasnya, stagnan sekaligus tidak mampu menjadi acuan otoritati dalam kehidupan aktual.
Untuk mengembalikan dinamika Islam, Rahman menyarankan perlunya membedakan antara Islam normatif (Islam ideal) dengan Islam sejarah. Untuk dapat merlakukan hal tersebut, tiada jalan lain kecuali dengan jalan melakukan distingsi ayat-ayat Alquran dalam dua kelompok besar; pertama, ayat yang membicarakan masalah teologi dan etika, yang mengandung prinsip-prinsip yang umum, ayat-ayat yang mengandung ajaran khusus (kasuistik), yang di dalamnya termasuk ayat-ayat hukum dengan jumlahnya yang jauh lebih banyak dari pada ayat katagori pertama. Untuk dapat melakukan distingsi tersebut, menggunakan pendekatan historis terhadap Alquran merupakan suatu keniscayaan untuk kemudian diikuti dengan pendekatan subtanssialis dan sosiologis. Rahman menyebutkan metodologi yang ditawarkan dengan teori hermeneutic (hermeneutical theory). Tawaran metodologi memahami Islam semacam inilah yang memberikan karakteristik identifikasi sebagai Neo-Modernisme Islam.
Secara ringkas, teori hermeneutika Alquran tawaran Rahman adalah pemahaman melalui gerakan ganda (Double Movement) yakni dari situasi kekinian ke masa Alquran, kemudian kembali lagi ke masa sekarang. Terdapat dua langkah yang harus ditempuh untuk gerakan pertama dari situasi kekinian ke masa Alquran- Pertama, orang harus memahami makna dari suatu pernyataan dengan melihat situasi sejarah atau masalah yang kemudian diberi jawaban oleh Alquran (asbab al-nuzul), kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dengan memperhatikan konteks sosio-historisnya.
Adapun gerakan kedua –dari masa Alquran ke masa kini-- mengandung makna bahwa prinsip-prinsip umum dalam Alquran harus dielaborasi dalam konteks sosio-historis yang konkret. Hal ini jelas menuntut kajian yang cermat terhadap situasi kondisi konstektual. Dengan cara demikian, kita menempatkan perintah-perintah Alquran menjadi hidup dan efektif. Kerja inilah –menurut Rahman- merupakan jihad intelektual (ijtihad).
Dengan tetap berpijak –dan tetap memprioritaskan- pada Alquran, Rahman berusaha merumuskan suatu teologi dengan meletakkan konsep-konsepnya pada perspektif ketuhanan dan kemanusiaan, dengan tanpa mempertentangkan (menilai secara dikhotomis) antara keduanya, sehingga corak teologinya berwatak humanis religius. Pada sisi inilah, letak distingsi wacana teologi Fazlur Rahman dengan diskursus wacana teologi pada umumnya. Mu’tazilah dengan paradigma meletakkan posisi akal sejajar dengan –bahkan di atas- wahyu, telah mengembangkan teologi Islam yang semata-mata didasarkan pada argumen-argumen dialektis semata. Ash’ariyah dan maturidiyah, meski berkeyakinan wahyu berposisi satu tungkat di atas kemampuan akal, justru terjebak pada pola dan metode yang dianut Mu’tazilah sehingga konsep-konsep teologi yang ditelorkannya besifat skolastisistikme murni. Karena itu hasil yang tampak pada aliran-aliran teologi tersebut adalah konsep yang bersifat dialektis-skolastik murni sehngga nuansanya lebih mengarah “ke atas” dan bersifat intelektualisme. Metode dialektis murni dan perspektif yang terlalu elitis ini yang dihindari ole Fazlur Rahman dalam mengembangkan wacana teologinya.
Dalam konteks demikian, pada batas tertentu, terdapat koherensi tesis teologi Fazlur Rahman dengan teologi Ahl al-Hadith, yakni sama-sama memposisikan Alquran sebagai dasar pijakan utama dalam merumuskan pandangan teologinya. Namun kemiripan itu hilang, jika diarahkan pada approach yang digunakan. Ahl al-Hadith memahami Alquran secara tekstual-lateral-bibliolatris dan menolak segala macam format interpretasi berbau rasional filosois, sedang Rahman menggunakan filsafat dengan segala pirantinya sebagai pendekatan esensial dalam memahami makna inner self Alquran. Pada sisi lain, konsep teologi Rahman terintegrasi dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman yang bersifat dinamis, yang selalu harus direinterpretasi dan dikaji ulang.



Kesimpulan
Wacana neo-modernisme yang ditawarkan Rahman adalah paradigma yang meletakkan sejarah dalam kritisme yang harus selalu dikaji ulang melalui cahaya nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah Nabi –kembali kepada “Islam normatif”--, hal ini karena, sejarah –dalam hal ini adalah “Islam sejarah”—merupakan pemahaman kontektual yang dilakukan para umatnya sepanjang sejara mereka.
Adapun aplikasi pengembangan al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam dinamika kehidupan Islam, Rahman menawarkan metodologi penafsiran dengan model gerakan ganda (doble movement) yang sarat dengan nuansa hermeneutik, yakni dari situasi kekinian masa al-Qur’an, kemudian kembali lagi ke masa sekarang.
Dengan metodologi dan pendekatan pemahaman seperti yang ditawarkan Rahman tersebut, maka memunculkan sebuah corak teologis yang berbeda dengan teologi-teologi yang telah ada. Sedang corak teologis Rahman memiliki watak humanis religius.