Rabu, 27 Mei 2009

PENGANTAR PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR

Pengantar
Dalam sejarah pemikiran islam, islam dibagi tiga periode. Pertama, periode klasik (650-1250), pada saat ini islam mencapai puncak keemasan dalam segala hal. Periode ini terbagi atas dua fase. Fase pertama (650-1000 M) adalah fase ekspansi islam. Dari barat sampai ke spanyol, dan dari arah timur sampai ke india. Daerah-daerah itu tunduk yang pada mulanya berkembang di Madinah, Damsyik, dan terakhir di Bagdad. Fase kedua (1000-1250 M) pada fase ini politik dan peradaban islam mulai hancur.
Kedua, periode pertengahan (1250-1800). Periode ini di tandai oleh dua hal. Pertama, perpecahan umat islam yang disebabkan sekte-sekte yang berkembang di dalam islam sendiri. Selain hal itu, pada fase ini telah meyebar luas doktrin bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan pengaruh negatif mistisisme yang berkembang terlalu dikultuskan. Kedua, diwarnai oleh tiga kerajaan besar, kerajaan Usmani di turki, kerajaan Syafawi di persia, dan kerajaan Mughol di india. Pada periode ini islam menjadi lemah, kerajaan Usmani dihancurkan oleh eropa, kerajaan Syafawi mulai dilemahkan bangsa Afghan, dan kerajaan Mughol mulai dikerdilkan oleh raja-raja india. Ghiroh terhadap ilmu pengetahuan semakin menipis, pemikiran umat islam semakin jumud, sementara eropa semakin jaya, hingga pada akhirnya Napoleon Bonaparte dengan mudah melakukan ekspedisinya ke mesir pada tahun 1798 M.
Ketiga, periode modern (1800 M-Sekarang) merupakan periode dimana islam mulai bangun dari tidur panjangnya. Jatuhnya mesir ke tangan barat menginsafkan dunia islam akan kelemahan islam, dan menyadarkan umat islam bahwa di dunia barat ada peradaban baru dan akan menjadi ancaman bagi umat islam. Saat inilah kemudian ada ide pembaharuan pemikiran islam untuk merespon kejayaan barat.
Sebelum pembaharuan muncul, Napoleon memacu pasukannya melakukan ekspedisi besar-besaran di negara seribu menara tersebut. Ia membawa sekitar 1000 rombongan. Dalam rombonga tersebut terdapat beberapa pakar, pakar teknik, pakar ilmu alam, pakar ilmu pasti. Disamping itu, ia membawa alat percetakan, teleskop, mikroskop, dan alat-alat percobaan kimia yang pada saat itu masyarakat mesir buta dalam hal tersebut. Napoleon melakukan penerjemahan-penerjemahan, pada akhirnya ia mendirikan sebuah perpustakaan bernama "Institute D'egypte". Langkah berikutnya ia mengajak ilmuan-ilmuan ternama di mesir untuk berkerja sama dalam tulis menulis dan menerjemahkan beberapa buku ke bahasa arab. Dengan cepat napoleon dan tentaranya menguasai bahasa arab dan budaya mesir. Dari usaha napoleon, mesir semakin takjub kepada kejayaan eropa. Dari sinilah tercipta hubungan harmonis pertama anatara mesir dan eropa. Dari sini juga terlihat langkah asimilasi budaya eropa-mesir begitu mudah.

Tokoh Pembaharuan di Mesir.

1. Muhammad Aly Pasya
Untuk merespon ekspedisi Napoleon ke mesir, pasukan yang disediakan adalah bernama Muhammad Aly Pasya. Ia keturunan darah turki, lahir di yunani pada tahun 1765. Ayahnya penjual rokok, dan sejak kecil aly pasya di didik berkerja, hingga ia tidak sempat duduk di bangku pendidikan. Namun demikian, ia menjadi anak kesayangan gubenur usmani. Hingga ia dinikahkan dengan anak gubenur.
Setelah Aly Pasya menjadi penguasa di mesir, ia beusaha memusnahkan kelompok sparatisme, kelompok yang menentangnya, terutama kaum mamluk. Seluruh kaum mamluk yang ada dimesir dihabisi, sebagian dibunuh dan sebagian yang lain melarikan diri ke sudan.
Setelah Aly Pasya menguasai mesir, untuk memajukan mesir, ia sadar bahwa saat itu masir lemah dalam hal keilmuan, terutama dalam hal militer dan ekonomi. Pada tahun 1815 ia mendirikan sekolah militer, pada tahun 1816 ia mendirikan sekolah teknik, dan pada tahun 1827 ia mendirikan sekolah kedokteran. Ia mendatangkan guru-gurunya dari eropa. Selain membangun sekolah-sekolah, ia mengirim 311 siswa ke negara eropa, diantaranya Italy, Perancis, Inggris, Austria, dan di Perancis. Di Paris, ia membangun sebuah asrama untuk siswa-siswa Mesir yang belajar disana. Disamping belajar militer, ia mementingkan siswa-siswanya untuk belajar kedokteran, administrasi negara, dan arsitek. Tetapi, ia sangat melarang siswanya untuk belajar ilmu politik. Dari sini terlihat bahwa, ia hawatir akan hancurnya kekuasaannya.
Begitu para pelajar datang dari eropa, mereka disuruh menterjemah buku-buku asing ke dalam bahasa arab. Dengan adanya penerjemahan ini, masyarakat mesir mulai mengenal paradigma pemikiran barat, filsafat, dan kebebasan berpikir. Sejak saat itu, islam mulai beradaptasi dengan kemajuan-kemajuan barat.

2. Rifa'ah Badawi Rafi' At-Tahtawi
Selain Muhammad Aly Pasya, At-Tahtawi ikut memerankan pembaharuan dalam islam. Ia lahir pada tahun 1801 di tahta, Mesir. ia merupakan murid dari Syekh Al-Attar yang memiliki hubungan erat dengan ilmuan-ilmuan prancis. Setelah At-Tahtawi menamatkan studinya di Al-Azhar, ia mengajar selama dua tahun. Dua tahun kemudian, ia menjadi ketua rombongan pelajar yang dikirim ke prancis. Selama lima tahun ia tinggal di mesir, ia mendalami bahasa prancis dan banyak menterjemahkan buku-buku prancis ke dalam bahasa arab. Setelah kembali ke mesir, ia mendirikan sekolah bahasa-bahasa asing, Turki, Prancis, Persi, Italy.
Pada pemerintahan Abbas (1848)—cucu Muhammad Aly Pasya, At-Tahtawi di usir dari mesir dengan alasan yang tidak jelas. Setelah Abbas Wafat (1854) ia ditarik kembali ke mesir oleh Said Pasya. Ia diangkat menjadi kepala sekolah militer. Selain aktivitasnya sebagai kepala sekolah, ia juga aktif di tulis menulis. Tahun 1870 ia membuat jurnal bernama "Raudhotul Madaris" yang berorientasi memajukan umat islam di mesir dengan pengetahuan modern. Selain menulis di majalah, ia memiliki beberapa buku. Pertama, Takhlis Al-Ibriz Fi Talkhis Bariz. Buku ini mendeskripsikan kemajuan kota paris. Kedua, Manahij Al-Albab Al-Mishriyah Fii Manahij Al-Adzab Al-Ashryah. Buku ini mejelaskan betapa pentingnnya ekonomi dalam kemajuan suatu negara. Ketiga, Al-Mursyid Al-Amin Lil Banat Wal Banin. Buku ini mejelaskan pendidikan seorang putera. Keempat, Al-Qaulu As-Sadid Fi Al-Ijtihad Wa At-Taqlid. Buku ini menjelaskan secara implisit, pintu ijtihad masih terbuka, dan menolak taklid.
Disamping itu, At-Tahtawi memiliki pandangan bahwa kaum wanita memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki (Emansipasi), ulama' harus bisa beradaptasi dengan pengetahuan modern, tidak ada istilah dikotomi ilmu sekuler dan ilmu agama.
Berkaitan dengan agama, At-Tahtawi sangan menolak faham fatalisme. Sebelum berserah diri, manusia harus berusaha mencapai yang di inginkannya. Dimana ia mencapai keinginannya, maka disanalah takdir dia. Jika tidak tercapai, berarti usaha untuk mencapai yang di inginkan kurang.

3. Jamaluddin Al-Afghani
Tokoh ini lahir di afghanistan pada tahun 1839, ia seorang tokoh yang berpidah-pindah dari negara ke negara yang lain. Namun pemikiran yang ia tinggalkan banyak berpengaruh di mesir.
Karena di india ia merasa tidak bebas, ia pindah ke kota cairo. Disana ia menjauhi dari arus politik, namun pada akhirnya ia juga terbawa arus. Pemikirannya dalam hal politik ia banyak dipengaruhi oleh At-Tahtawi. Dengan gaya politik yang tidak jelas yang berkembang saat itu di mesir, ia mendirikan partai politik bernama"Hizb Al-Wathoni". Dengan partai ini, afghani mengusulkan pergantian jabatan raja Isma'il dengan Taufiq, ia berkeinginan untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan di mesir, namun setelah Taufiq menjadi raja, Afghani diusir oleh Taufiq atas tekanan inggris.
Dari mesir ia pergi ke prancis, dan disana ia membuat organisasi islam yang bernama "Al-Urwah Al-Wutsqo" sekaligus nama majalah yang ia terbitkan. Di organisasi tersebut terdiri orang islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara, dan lain-lain. Dengan Al-Urwah Al-Wutsqonya ia menyalurkan pemikiran-pemiran pembaharuannya. Goldziher menganggap Afghani sebagai pemimpin politik, bukan pemimpin pembaharuan islam. Karena aktifitasnya yang selalu bersentuhan dengan masalah politik. Namun, politik yang dilancarkan oleh afghani sebenarnya berlandasan dengan ide-ide pembaharuan. Menurutnya, islam akan maju dengan (pertama) memiliki kesadaran bahwa islam selalu kompatible diseluruh zaman, oleh karenya diperlukan ijtihad-ijtihad baru. (kedua) islam lemah karena banyak ajaran yang telah terkontaminasi oleh ajaran-ajaran luar islam, seperti faham Qodo' dan Qodar yang kemudian menjadi faham Fatalisme. (ketiga) islam mundur karena salah faham terhadap hadits yang menjelaskan umat islam akan mengalami kemunduran pada akhir zaman, sehingga umat islam tidak melakukan ikhtiar sama sekali. (keempat) lemahnya rasa persaudaraan, saat itu Ulama' Hijaz sudah tidak kenal lagi dengan Ulama' Mesir, dan ulama'-ulama' lainnya. (kelima) kepemimpinan otokrasi harus dirubah dengan sistem demokratis. Pemimpin negara harus mengadakan Syura dengan rakyat. Dari ide-idenya dapat memengaruhi banyak umat islam di mesir, terutma Muhammad Abduh.









By: Ibnu Fuady

Jumat, 27 Maret 2009

BERKENALAN DENGAN SEMANTIK ALQURAN

*Ahmad Fawaid Fuady
Dalam catatan sejarah Arab pra-Islam, komunitas Arab memiliki tingkat kemajuan yang pesat dalam perekonomian, hubungan dengan dunia international, dan—terutama—dalam aspek kebahasaannya. Tradisi sastra, prosa, dan puisi sudah menjadi tradisi Arab pra-Islam. Hal ini mengindikasikan sebelum Alquran turun, bangsa Arab sudah memiliki kemampuan tinggi dalam bidang bahasa. Alquran yang secara definitif adalah kitab yang diturunkan oleh Allah melalui Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab yang makna dan lafadz-nya dari Allah. pandangan teologis ini tentu tidak mengesampingkan kenyataan bahwa teknik penyampaiannya berkaitan erat dengan kesepakatan-kesepakatan (baca: bahasa konvensional) masyarakat pemakai bahasanya (baca: Arab) dan hampir semua kosakata yang terdapat pada Alquran telah digunakan dalam bentuk dan Weltanschauung tertentu oleh bangsa Arab pra-Islam.
Pada titik inilah kajian semantik Alquran merabah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu (baca: Arab), tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang paling urgen adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Sebagaimana yang ditawarkan oleh Izutsu, pentingnya kajian kebahasaan untuk melihat Weltanschauung suatu masyarakat melalui pencarian makna kata yang terstruktur dalam jaringan relasional. Selain itu, masih dalam pendapat Izutsu, perlunya penyelidikan yang teliti dan cermat terhadap situasi budaya dan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.
Sementara itu dalam studi metodologi penafsiran Alquran, sebenarnya kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa pakar mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farra’ dengan karya tafsirnya Ma’anil Quran, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan lagi oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya di aplikasikan oleh Aisyah bint Al-Syati’ dalam tafsirnya Al-Bayan Li Quran Al-Karim. gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik Alquran.
Untuk menuju langkah ke teori Semantika Alquran, harus lebih teliti dalam mengkaji kosakata-kosakata Arab. Kosakata dilihat dari segi pendirian metodologis ada dua macam. Kedua tersebut adalah pandangan diakronik dan pandangan sinkronik. Diakronik secara etimologis adalah analisis bahasa dengan menitik beratkan kepada waktu. Dengan pandangan tersebut, secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas. Beberapa kelompok kata tersebut dapat berhenti tumbuh dan mulai tidak digunakan lagi oleh masyarakat pemakai bahasa tersebut dalam jangka waktu tertentu, sedangkan kelompok kata yang lain dapat bertumbuh dan berkembang dalam jangka waktu yang lama. Analisis diakronik—menganalisis dan melihat perkembangan bahasa sesuai dengan Weltanschauung nya—meneliti perkembagan kosakata dalam beberapa tahapan. Pertama, analisis kata sebelum Alquran turun, atau pada masa jahiliyyah. Kedua, pada masa turunnya Alquran. Dan ketiga, setelah turunnya Alquran. Pada masa Arab pra-Islam, terdapat tiga sistem kata yang berbeda secara Pandangan dunianya. Pertama, kosakata badui murni. Kedua, kosakata kelompok pedagang yang memiliki karakteristik hampir sama dengan kosakata badui dan memiliki pandangan dunia sendiri. Ketiga, kosakata yahudi-kristen yang memiliki sistem religius yang juga hidup di tanah Arab. ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur analisis diakronik yang urgen terhadap kosakata Arab pra-Islam.
Sedangkan pandangan metodologi Sinkronik adalah sebuah analisis terhadap sistem kata statis yang merupakan satu permukaan dari perjalanan sejarah suatu bahasa sebagai konsep yang diorganisasikan dalam sebuah jaringan yang rumit. Kondisi statis dalam kata tersebut dipengaruhi oleh sesuatu yang artifisial. Kata tersebut di hasilkan oleh satu pukulan atau gerakan arus sejarah terhadap semua kata-kata dalam sebuah bahasa pada satu titik waktu tertentu. Contoh kongkretnya, pada masa pra-Islam, kata Allah bukan hanya digunakan oleh bangsa Arab yahudi dan nasrani, bahkan masyarakat Arab badui murni sudah mengenal kata itu sebagai nama tuhan. Selain kata Allah, bangsa Arab juga menggukan kata Alihah (tuhan atau dewa-dewa). Eksisistensi kata Allah masa Arab pra-Islam setara dengan kata Alihah, dewa-dewa yang lain. Setelah Islam datang yang dibawa oleh muhammad dengan panduannya berupa Alquran, Islam tidak merubah kata Allah sebagai nama tuhan. Namun, konsep kata Allah yang ada pada masa pra-Islam sangat berbeda dengan konsep Allah yang dibawa oleh Islam. Konsep kata Allah yang ada pada pra-Islam berupa nama tuhan yang bersifat politeistik, bangsa Arab menggunakan kata tersebut untuk tuhan mereka yang politeistik. Pandangan seperti ini dirubah sejak Islam datang, kata Allah pada masa Islam menjadi monoteistik, tuhan yang tunggal. Analisis weltanschauung kata Allah pra-Islam merupakan kajian diakronik, dan analisis kata statis yang muncul pada permukaan setelah proses perjalanan sejarah bahasa dinamakan analisis sinkronik. Kata Allah dopengaruhi oleh sistem relasional Islam sebagai agama yang membawa ajaran monoteisme. Dalam penerapan metode semantik, analisis diakronik dan sinkronik mencangkup teori semantik yang lain dalam menganalisa kata kunci Alquran, yaitu:

a). Makna Dasar
Setiap kata memiliki karakteristik tersendiri dalam pandangan dunianya (Weltanschauungnya). Dalam teori semantik, kata akan bisa dilacak dengan mencari makna atau arti dari kata itu sendiri, ini yang dimaksud dengan “Makna Dasar”. Makna dasar ini menjadi langkah awal dalam teori semantik untuk mencari makna dari sebuah teks atau kata tertentu. Kata dasar dari sebuah kata tertentu akan selalu melekat kapanpun dan dimanapun kata itu diletakkan. Dalam konteks Alquran, kata dasar dapat diterapkan dengan memberikan makna dasar atau kandungan kontekstualnya pada kata tertentu dalam Alquran, walaupun kata dasar tersebut diambil dari luar konteks Alquran. Kata dasar dapat diteliti dengan cara mencari makna kata tersebut secara leksikal dan meneliti dengan pandangan historis perkembangannya, dengan cara ini otomatis akan mengetahuai Weltanschauung kata tersebut.
Kata Allah—sebagaimana yang sudah dicontohkan sebelumnya, kata Allah akan menjadi contoh untuk teori semantik selanjutnya—memiliki Makna Dasar tuhan atau dzat transendental, pemahaman ini berkembang sejak pra-Islam sampai Islam turun. Makna dasar kata Allah akan melekat pada kata tersebut dan tidak akan berubah meskipun dalam ruang waktu yang berbeda

b) Makna Relasional
Setelah Islam datang, kata Allah mengalami pergeseran makna konotatif dengan kosakata yang terdapat dalam konsep Islam (baca: Alquran). Makna kata Allah setelah mengalami pergeseran memiliki konsep yang berbeda, yaitu Tuhan yang bersifat monoteisme. Pergeseran itu terjadi karena ada relasional yang menyertainya. Momen ini disebut dengan “Makna Relasional”. Makna relasional menganalisa makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan kepada makna dasar yang sudah ada dengan meletakkan kata dasar tersebut pada posisi tertentu, bidang tertentu, dan dalam relasi tertentu dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut Dalam studi Alquran, makna relasional mengkaji hubungan gramatikal dan konseptual kata fokus dengan kata yang lain dalam posisi tertentu.

c) Struktur Batin (Deep Structure)
Sebuah kata memiliki struktur yang banyak dan ada di tempat yang berbeda. Meski demikian, makna kata tersebut selalu teratur dalam suatu sistem atau sistem-sistem yang lain. Dalam bidang semantik, ini disebut dengan “Struktur Batin”. Struktur batin (Deep Structure) secara general adalah mengungkap fakta pada dataran yang lebih abstrak dan riil, sehingga fakta tersebut tidak menimbulkan kekaburan dalam dataran manapun, dan semua ciri struktural dapat diungkap dengan jelas ke permukaan. Analisis struktur batin yang terdapat dalam Alquran secara definitif adalah mengungkap kecenderungan kosakata dalam Alquran dalam ayat tertentu dengan konteks yang menyertainya

d) Bidang semantik (Semantic Field)
Dalam bahasa ada banyak kosakata yang memilki sinonim, terlebih dalam bahasa Arab. Aspek budaya terkadang juga masuk ke dalam aspek kebahasaan, meski kosakata itu sama secara leterlek, namun penggunaannya berbeda. Bidang semantik memahami jaringan konseptual yang terbentuk oleh kata-kata yang berhubungan erat, sebab tidak mungkin kosakata akan berdiri sendiri tanpa ada kaitan dengan kosakata lain. Alquran sering menggunakan kata yang hampir memiliki kesamaan, namun memilki titik tekan tersendiri. Bersambung….

Selebihnya, anda baca di buku:

1. Izutsu, Toshihiko. 2003. Relasi Tuhan Dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Alquran. Tiara Wacana. yogyakarta
2. Izutsu, Toshihiko. 1997. konsep-konsep etika religius dalam Alquran. Tiara Wacana. yogyakarta
3. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik leksikal. PT Rineka Cipta: Jakarta.
4. Djajasudarma, T. Fatimah. Tanpa tahun. Semantik: pengantar ke arah ilmu makna. PT. Rafika: Bandung
5. Aditama. 2002. Abdul Chaer. Pengantar semantik bahasa Indonesia. PT Rineka Cipta: Jakarta
6. Tarigan. 1993. Pengajaran semantik: penerbit Angkasa: Bandung
7. Abdurrahman binti syati’, Aisyah. Tanpa tahun. At-Tafsir Al-Bayani Li Alquran Alkarim, Kairo : Dar Al-Ma’arif.


[*] Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Ampel Surabaya

Kamis, 26 Maret 2009

Pengantar Ilmu Tafsir

ILMU TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA

Pengantar

Penafsiran Alquran selalu mengundang perhatian lebih dalam dunia islam. Hal ini disebaban oleh beberapa hal, pertama Alquran tidak akan memberi kontribusi apapun tanpa tafsir, alasan ini juga penah dilontarkan oleh Ali Bin Abi Thalib. Kedua, Alquran sebagai kitab yang memiliki landasan theologi Sholihun Li Kulli Zaman Wal Makan (Alquran itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat) harus selalu memberi solusi kepada akselarasi tantangan zaman. Karenanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Syahrur, Alquran harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi oleh umat manusia. Ketiga, sebagai disiplin ilmu, tafsir tidak bisa lepas dari perkembangan social dan kultur budaya manusia. Dengan kata lain, tafsir merupakan anak zaman, ia akan mendemonstrasikan karakter ruang waktu di mana dan kapan ia lahir. Disinilah terlihat urgensitas ilmu tafsir.

Tafsir Masa Nabi Muhammad Dan Sahabat
Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah ketuhanan (baca: Alquran) memilki otoritas penuh terhadap interpretasi Alquran. Kareana bagaimanapun juga, dialah utusan Allah yang menyampaikan pesan-pesan ilahiyah. Oleh karenanya, pada masa awal turunnya Alquran. Muhammad selalu menjadi referensi umat islam saat itu (baca: sahabat) dalam segala aspek agama, terutama masalah tafsir dan ta'wil. Misalnya dalam surat al-an'am ayat 82, sahabat bertanya-tanya makna Dholim. Kemudian nabi Muhammad menafsirkan kata Dholim tersebut dengan makna syirik.
Pada masa sahabat, interpretasi terhadap Alquran terpaku kepada riwayat-riwayat yang pernah di jeaskan oleh nabi, dan mereka menafsirkan Alquran secara global. Karena pada saat itu—sebagaimana diungkap oleh ibnu kholdun—para sahabat menjadi saksi atas turunnya Alquran, dan bahasa mereka masih belum terkontaminasi oleh bahasa-bahasa asing, sehingga mereka dengan mudah memahami kandunangan Alquran.
Namun, masing-masing sahabat memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam menafsirkan Alquran. Hal ini disebabkan oleh kredibilitas dan kekuatan daya ingat mereka (Tsiqoh). Sehingga berimplikasi kepada prodak penasiran mereka yang memiliki corak dan perbedaan.
Disamping itu, ada beberapa metode—selain menafsirkan secara global—yang digunakan oleh para sahabat untuk menafsirkan Alquran. Pertama, dengan metode tematik. Maksudnya, Alquran menafsiri dirinya sendiri. Karena Alquran, sebagaimana yang dinyatakan oleh Toshiko Izutsu, memiliki kesatuan dan keterkaitan system kata-kata yang erat. Kedua, dengan metode riwayat. Konkretnya, sahabat merujuk kepada penjelasan-penjelasan nabi tentang kata-kata yang belum jelas dalam Alquran. Ketiga, dengan metode ijtihad yang berlandasan oleh pemahaman bahasa arab yang mereka miliki. Namun perlu di garis bawahi, metode-metode tersebut hanya bersifat aplikatif, tidak berupa teoritis yang terbukukan (Tadwin).
Pada saat itu, ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai interprener yang monumental, seperti para Kholifah Empat, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay Bin Ka'ab, Zaid Bin Tsabit, Abou Musa Al-Asyary, Dan Abdullah Bin Zubair. Sebagian orang berpendapat, Anas Bin Malik, Abou Hurairah, Abdullah Bin Umar, Jabir Bin Abdillah, Abdullah Umar Din Ash, Dan Ai'syah merupakan tokoh tafsir abad ke 7 mahasehi tersebut.
Setelah usai masa shabat, para tabi'in melestarikan tradisi tafsir. Karakteristik penafsiran mereka adalah menggunakan ijtihad mereka sendiri dan berpedoman riwayat-riwayat sahabat. Langkah prefentif dalam melestarikan budaya tafsir, mereka mengadakan kajian-kajian tafsir, di antaranya di mekkah dibawah pimpinan Ali Ibn Abbas, di madinah di bawah pimpinan Ubay Bin Ka'ab, di iraq di bawah naungan ibnu mas'ud. Beberapa tabi'in yang terkenal sebagai penafsir pada masa tabi'in adalah Sa'id Bin Jabir, Mujahid Bin Jabar, I'krimah, Tous Bin Kisan Al-Yamani, Atho' Bin Abi Ribah, Abu Aliyah, Muhammad Bin Ka'ab, Zaid Bin Aslam, Alqomah Bin Qois, Hasan Al-Basri, Dan Qotadah.
Masa tabi'in dilanjutkan oleh Atba'u At-Tabi'in, pada masa ini islam mengalami ekspansi besar ke luar arab. Hingga mengimplikasikan terkontaminasinya bahasa-bahasa arab dengan bahasa asing. Kehawatiran akan berkurangnya kemampuan dalam bidang bahasa arab Alquran benar-benar terjadi. Nah, pada masa awal dinasti abbasiyah segala ragam keilmuan mulai di tulis dan di bukukan, termasuk ilmu tafsir

Metodologi Penafsiran
Sebagai anak zaman, tafsir selalu mengalami rekonstruksi inovatif yang memunculkan metodologi dan tawaran baru. Hal ini di tandai oleh banyaknya kitab tafsir sejak abad kedua akhir hingga sekarang. Misalnya, kitab Ma'anil Quran karya Al-Farra' (144-107 H.), Jami' Al-Bayan Fi Tafsir Alquran karya Ibnu Jarir At-Thobari (224-310 H.), Al-kasysyaf karya Al-Zamakhsari (467H.), Al-jami' Li Ahkam Alquran Wal Mubayyin Lima Tadhommana Min As-Sunnah Wa Ayil Furqon karya Al-Qurthubi (w. 671 H.), Tafsir Ibnu Taimiyyah (661-728 H), Lubab At-Ta'wil Fi Ma'ani Tanzil karya Al-Khazin (678-741 H.), Anwar At-Tanzil Wa Asrar At-Ta'wil Karya Al-Baidhawi (w. 685 H), tafsir Alquran Al-'Adzim karya Ibnu Katsir (700 H), Ruh Al-Ma'any karya Al-Alusi (1217-1270 H.).
Pada dasarnya, tafsir bisa dibedakan dengan dua bagian. Pertama, tafsir An-Naqli dan tafsir Al-Aqli, tafsir aqli inilah yang sampai sekarang selalu mengalami perkembangan dan selalu mendapat perhatian lebih dikalangan dunia timur dan barat. Pertama, tafsir tematik (Maudhui). Metode ini yang banyak dilakukan oleh para mufassir abad pertama hijriyah dengan mengumpulkan ayat yang sesuai dengan tema tertentu, serta mengarahkan kepada satu tujuan dan maksud. Kedua, tafsir analitik (Tahlili). Secara definitif, tahlili adalah mengkaji Alquran dari segala aspek dan maknanya, ayat demi ayat dan surat per-surat sesuai dengan urutan mushaf utsmani. Ketiga, tafsir global (ijmali). Yang dimaksud dengan metode ini adalah menafsirkan secara singkat dan global tanpa menyinggung arti yang ada diluar teks. Keempat, tafsir komparatif (moqoron), metode ini membandingkan kecenderungan para mafassir dalam menafsirkan Alquran, kemudian memberi pendapat dan melihat kecenderungan mereka dalam menafsirkan Alquran. Lebih dari itu, metode ini juga membandingkan ayat Alquran dengan teks hadits yang secara riil kontradiktif, dengan mengompromikan, mengunggulkan, menaskh, dan kemudian mendiamkannya. Metode metode diatas sangat dikenal oleh dunia islam.
Namun selain metodologi penafsiran diatas, ada beberapa penafsiran yang mengundang pro dan kontra. Diataranya adalah, stilistika Alquran, semantika Alquran, dan hermeneutika Alquran.

a.Stilistika Alquran:
Stilistika al-Qur'an yang dimaksud di sini bukanlah perbincangan mengenai pelbagai aspek dan perkembangan dalam dunia stilistik yang secara umum berkenaan dengan seni pengungkapan. Yang menjadi penting dalam stilistika al-Qur'an adalah kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa para sarjana Muslim klasik berusaha keras untuk menunjukkan eloquency al-Qur'an, fasāha, melalui cara pandang stilistik.
Disamping itu, diskursus tentang teori makna dalam kesarjanaan klasik menunjukkan relasi yang intens antara teori bahasa Arab dengan al-Qur'an sebagai teks. Wacana yang berkembang dalam khazanah kesarjanaan klasik adalah hubungan antara kata dengan makna kata serta antara kalimat dan makna kalimat. Salah satu contohnya adalah kosa kata mathar dan ghayts yang dua-duanya berdenotasi hujan. Kesalahan para sastrawan Arab adalah memperlakuakan dua kosa kata tersebut sebagai sinonim, padahal al-mathar dalam pemakaian al-Qur'an senantiasa berhubungan dengan siksa. Sementara penggunaan kasa ghayts dalam al-Qur'an senantiasa dihubungkan dengan rahmat Tuhan.

b. Semantika Alquran:
semantik Alquran merabah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu (baca: Arab), tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang paling urgen adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Sebagaimana yang ditawarkan oleh Izutsu, pentingnya kajian kebahasaan untuk melihat Weltanschauung suatu masyarakat melalui pencarian makna kata yang terstruktur dalam jaringan relasional. Selain itu, masih dalam pendapat Izutsu, perlunya penyelidikan yang teliti dan cermat terhadap situasi budaya dan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.
Sementara itu dalam studi metodologi penafsiran Alquran, sebenarnya kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa pakar mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farra’ dengan karya tafsirnya Ma’anil Quran, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan lagi oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya di aplikasikan oleh Aisyah bint Al-Syati’ dalam tafsirnya Al-Bayan Li Quran Al-Karim. gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik Alquran.

c. Hermeneutika Alquran:
Secara mendasar, hermeneutika didefinisikan sebagai (pertama) mengungkap sesuatu yang ada dalam benak fikiran dengan medium kata-kata atau ucapan, (kedua) menjelaskan yang tabu menjadi jelas dan riil sehingga maksud dan maknanya dapat difahami, (ketiga) menerjemahkan suatu bahasa asing ke dalam bahasa lain yang difahami oleh audiens.
Sesuai dengan akselarasi perkembangan disiplin keilmuan, hermeneutika terbagi menjadi lima. Pertama, hermeneutika romantis. Kedua, fenomenologis. Ketiga, dialekis. Keempat, kritis. Kelima, post-struktural. Berlanjut....



Rabu, 11 Februari 2009

FAZLUR RAHMAN;Telaah Konsep Pembaharuan Teologi Neo-Modernisme Menurut



Sekilas Perjalanan Intlektual Fazlur Rahman
Sebuah pemikiran tidak lahir dari ruang kosong. Dan untuk memahami sebuah pemikiran, seseorang tidak bisa mempereteli begitu saja tanpa memahami sosio-historis yang melatarinya. Begitu juga ketika kita berusaha memahami Fazlur Rahman—selanjutnya akan disebut Rahman, pelbagai konteks sosio-historis yang mewadahi aktivitas intlektualnya harus dipertimbangkan.
Fazlur Rahman lahir di distrik Hazarah, Punjab, Barat laut Pakistan pada tanggal 21 september 1919. Ia tumbuh dan berkembang dalam latarbelakang pendidikan tradisional dengan bermadhhab Hanafi, suatu madhhab sunni yang paling rasional dibandingkan dengan tiga madhhab Sunni yang lain (Maliki, Shafi’I dan Hambali). Ia menerima pendidikan tradisional tentang keislaman dari ayahnya, Maulana Sahab al-Din dan dari madrasah Deoban. Pada usia 10 tahun Alquran sudah dihafalkan dan empat tahun kemudian mulai belajar filsafat, Bahasa Arab, teologi, hadith dan tafsir. Intlektualitasnya semakin establish setelah menguasahi beberapa bahasa asing, seperti bahasa Persia, Urdu, Inggris , Prancis, Jerman bahasa-bahasa Eropa Kuno seperti bahasa Latin dan Yunani. Pada tahun 1940, ia menyelesaikan program BA, dan dua tahun kemudian meraih gelar MA dalam bahasa Arab dari Punjab University, Lahore.
Berangkat dari anggapannya bahwa Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual, ia memutuskan melanjutkan studi di Oxford University dan dari sana ia memperoleh gelar Ph. D pada tahun 1949 dengan desertasi tentang Ibn Sina di bawa bimbingan S. Van Den Berg dan Hamilton AR. Gibb. Setelah meraih gelar Ph. D rahman memilih tinggal di Barat untuk sementara waktu sampai akhirnya pada tahun 1966 ia kembali ke Pakistan karena diminta oleh Ayyub Khan, presiden waktu itu, untuk berpartisipasi dalam membangun negaranya.
Sebagai seorang pemikir, Rahman merupakan sosok yang produktif. Ratusan karya yang telah dihasilkannya. Diawali dengan penerbitan desertasinya yang berjudul Avecenna’s Psychologi (London, 1952), Rahman memperoleh popularitas internasional. Dalam buku ini, ia membuktikan adanya pengaruh seorang filosof dan psikolog Islam, Ibn Sina (w. 1037) terhadap seorang teolog Kristen abad tengah , St. Thomas Aguinas (w. 1275). Rahman juga menulis dua buku lain tentang Ibn Sina: Prophecy in Islam Philosophy and Ortodoxy (Chicago, 1958) dan Avicenna’s de Anima (London, 1959), ia juga dikenal dengan karya-karyanya dibidang kajian tafsir tematik Mayor Themes of The Qur’an (Minneapolis, 1979), di bidang metodologi sejarah Islam Islamic Methodology and History (1965), di bidang pendidikan Islam Islam and Modernity: Transformation of Intlectual Tradition (1982), dan karya penting lainnya Islam(1966); The Philoshophy of Mulla Shadra (1975); dan lain-lain.
Setelah memberikan kontribusi cukup besar dalam pembaharuan intelektual Islam, atas ketentuan sang pencipta, Rahman menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 26 Juli 1988 dalam usia 69 tahun di Amerika Serikat setelah beberapa lama sebelumnya ia dirawat di rumah sakit Chicago.

Pembaharuan Teologi Neo-Modernisme Fazlur Rahman
Menarik untuk menyimak “problem tradisi dan modernitas” dari ‘Abid al-Jabiri, yang berangkat dari pertanyaan, apakah kita masih memiliki pilihan terhadap modernitas. Menurutnya, kita tidak memiliki pilihan terhadap modernitas karena ia muncul dipaksakan dari luar sebagaimana kita juga tidak memiliki pilihan atas tradisi. Tradisi adalah bagian masa lalu yang turut terbawa hingga kini sehinnga bercongkol bersama-sama dengan yang modern. Hal ini berakibat pada timbulnya keterbelahan termasuk pada tingkat kesadaran sehingga berpengaruh terhadap wacana kebangkitan. Masih menurutnya, persoalannya bukan memilih tetapi persoalan keterbelahan atau ambivalensi di mana dalam satu waktu timbul rasa senang sekaligus benci terhadap suatu objek tertentu. Di satu sisi Barat modern dipandang sebagai musuh yang harus dilawan karena adanya watak represif dan imperialis terhadap Islam, sementara di sisi lain dipandang sebagai model yang patut dicontoh dengan kemajuan-kemajuan yang dimiliki. Demikian pula pensikapan terhadap tradisi. Tradisi dipandang sebagai tempat bersandar untuk menegaskan identitas serta otentisitasnya dan pada saat yang sama nampak sebagai lorong panjang yang penuh stagnasi dan kemunduran.
Bertolak dari pernyataan al-Jabiri di atas, dengan arah yang berbeda Rahman menangkap tradisi dan modernitas sebagai bagian tak terpisahkan, di mana keduanya mesti dikaji secara kritis dan obyektif dengan memilah-milah mana yang bermanfaat bagi kemajuan Islam. Inilah yang membedakan dengan gerakan-gerakan pembaharuan sebelumnya yang dianggap gagal.
Berawal dari kritisme, Rahman mempertanyakan posisi “Islam sejarah” jika dihadapkan dengan “Islam cita-cita”. Dalam perspektifnya, kelompok tradisionalis konservatif sudah tidak mampu membedakan antara Islam sejarah (legal spesifik) dengan Islam cita-cita (ideal moral),sehingga menjadi sedemikian terikat dengan bibliolatry “mereka menyembah sejarah dan bukan menyembah Allah”.
Dalam pandangan Rahman, abad-abad pertama Islam dinilai sebagai masa keemasan, dengan bukti kesanggupan para pemeluknya untuk memberikan makna signifikan bagi sejarah. Namun sangat disayangkan, perkembangan peradaban Islam menjadi lumpuh ketika penafsiran terhadap Alquran dan Sunnah Nabi terhenti sebagai Sunnah yang hidup –sebagai suatu proses yang terus-menerus berkembang-- dan dipandang sebagai pewujudan kehendak Tuhan. Para salaf al-salih dijadikan sebagai bagian kepercayaan, lebih dari sekedar bagian sejarah. Dalam kondisi demikian, Islam menjadi suatu agama yang beku serta kehilangan dinamika kreatifitasnya, stagnan sekaligus tidak mampu menjadi acuan otoritati dalam kehidupan aktual.
Untuk mengembalikan dinamika Islam, Rahman menyarankan perlunya membedakan antara Islam normatif (Islam ideal) dengan Islam sejarah. Untuk dapat merlakukan hal tersebut, tiada jalan lain kecuali dengan jalan melakukan distingsi ayat-ayat Alquran dalam dua kelompok besar; pertama, ayat yang membicarakan masalah teologi dan etika, yang mengandung prinsip-prinsip yang umum, ayat-ayat yang mengandung ajaran khusus (kasuistik), yang di dalamnya termasuk ayat-ayat hukum dengan jumlahnya yang jauh lebih banyak dari pada ayat katagori pertama. Untuk dapat melakukan distingsi tersebut, menggunakan pendekatan historis terhadap Alquran merupakan suatu keniscayaan untuk kemudian diikuti dengan pendekatan subtanssialis dan sosiologis. Rahman menyebutkan metodologi yang ditawarkan dengan teori hermeneutic (hermeneutical theory). Tawaran metodologi memahami Islam semacam inilah yang memberikan karakteristik identifikasi sebagai Neo-Modernisme Islam.
Secara ringkas, teori hermeneutika Alquran tawaran Rahman adalah pemahaman melalui gerakan ganda (Double Movement) yakni dari situasi kekinian ke masa Alquran, kemudian kembali lagi ke masa sekarang. Terdapat dua langkah yang harus ditempuh untuk gerakan pertama dari situasi kekinian ke masa Alquran- Pertama, orang harus memahami makna dari suatu pernyataan dengan melihat situasi sejarah atau masalah yang kemudian diberi jawaban oleh Alquran (asbab al-nuzul), kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dengan memperhatikan konteks sosio-historisnya.
Adapun gerakan kedua –dari masa Alquran ke masa kini-- mengandung makna bahwa prinsip-prinsip umum dalam Alquran harus dielaborasi dalam konteks sosio-historis yang konkret. Hal ini jelas menuntut kajian yang cermat terhadap situasi kondisi konstektual. Dengan cara demikian, kita menempatkan perintah-perintah Alquran menjadi hidup dan efektif. Kerja inilah –menurut Rahman- merupakan jihad intelektual (ijtihad).
Dengan tetap berpijak –dan tetap memprioritaskan- pada Alquran, Rahman berusaha merumuskan suatu teologi dengan meletakkan konsep-konsepnya pada perspektif ketuhanan dan kemanusiaan, dengan tanpa mempertentangkan (menilai secara dikhotomis) antara keduanya, sehingga corak teologinya berwatak humanis religius. Pada sisi inilah, letak distingsi wacana teologi Fazlur Rahman dengan diskursus wacana teologi pada umumnya. Mu’tazilah dengan paradigma meletakkan posisi akal sejajar dengan –bahkan di atas- wahyu, telah mengembangkan teologi Islam yang semata-mata didasarkan pada argumen-argumen dialektis semata. Ash’ariyah dan maturidiyah, meski berkeyakinan wahyu berposisi satu tungkat di atas kemampuan akal, justru terjebak pada pola dan metode yang dianut Mu’tazilah sehingga konsep-konsep teologi yang ditelorkannya besifat skolastisistikme murni. Karena itu hasil yang tampak pada aliran-aliran teologi tersebut adalah konsep yang bersifat dialektis-skolastik murni sehngga nuansanya lebih mengarah “ke atas” dan bersifat intelektualisme. Metode dialektis murni dan perspektif yang terlalu elitis ini yang dihindari ole Fazlur Rahman dalam mengembangkan wacana teologinya.
Dalam konteks demikian, pada batas tertentu, terdapat koherensi tesis teologi Fazlur Rahman dengan teologi Ahl al-Hadith, yakni sama-sama memposisikan Alquran sebagai dasar pijakan utama dalam merumuskan pandangan teologinya. Namun kemiripan itu hilang, jika diarahkan pada approach yang digunakan. Ahl al-Hadith memahami Alquran secara tekstual-lateral-bibliolatris dan menolak segala macam format interpretasi berbau rasional filosois, sedang Rahman menggunakan filsafat dengan segala pirantinya sebagai pendekatan esensial dalam memahami makna inner self Alquran. Pada sisi lain, konsep teologi Rahman terintegrasi dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman yang bersifat dinamis, yang selalu harus direinterpretasi dan dikaji ulang.



Kesimpulan
Wacana neo-modernisme yang ditawarkan Rahman adalah paradigma yang meletakkan sejarah dalam kritisme yang harus selalu dikaji ulang melalui cahaya nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah Nabi –kembali kepada “Islam normatif”--, hal ini karena, sejarah –dalam hal ini adalah “Islam sejarah”—merupakan pemahaman kontektual yang dilakukan para umatnya sepanjang sejara mereka.
Adapun aplikasi pengembangan al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam dinamika kehidupan Islam, Rahman menawarkan metodologi penafsiran dengan model gerakan ganda (doble movement) yang sarat dengan nuansa hermeneutik, yakni dari situasi kekinian masa al-Qur’an, kemudian kembali lagi ke masa sekarang.
Dengan metodologi dan pendekatan pemahaman seperti yang ditawarkan Rahman tersebut, maka memunculkan sebuah corak teologis yang berbeda dengan teologi-teologi yang telah ada. Sedang corak teologis Rahman memiliki watak humanis religius.